Main hujan


Dramaga, 26 April 2019

“Eh ini yang bener, tau!”
“Eh emang kayak gini ya?”
“Bukannya batas tapaknya yang ini?”
“Eh coba tanya asisten.”
“Aduh!”
“Ih awas kecoret.”
“Sini sini aku aja.”
“Eh kata asisten yang bener begini..”
“Hahaha.. siapa tadi yang sotoy?”

Begitulah jumat soreku selama setengah semester ke belakang, menyenangkan sekaligus melelahkan. Praktikum mata kuliah survei dan pemetaan tapak selalu menjadi penutup akhir pekan di semester 4 ini. Bersama teman satu kelompok yang ‘ngga bener’ ini aku selalu menghabiskan tawa berkat kejadian-kejadian konyol selama mengerjakan tugas. Meski sampai kapanpun aku tak akan pernah menyatakan ini pada mereka, aku sangat bersyukur harus mengahabiskan waktuku bersama 4 orang menyenangkan itu setiap akhir pekan perkuliahan.

Sore ini hujan kembali turun dari langit Dramaga, deras sekali. Angin bertiup kencang, langit mendadak gelap. Teman-temanku mengurungkan niat untuk pulang, mereka lebih rela menghabiskan waktu di kampus lebih lama daripada kuyup terguyur hujan.

“Aku pulang duluan, ya.” Ucapku pada seorang teman. “Tapi hujannya gede banget, Sal, nanti masuk angin loh.” Aku tersenyum. “Ngga kok insyaallah, lagian kan besok libur ini, kalo masuk angin bisa istirahat.” Temanku mengiyakan, “Hati-hati.” Aku mengangguk, kemudian berpamitan padanya dan beberapa teman lain.

Aku berjalan menuju gerbang kampus sambil menikmati suasana hujan di bawah naungan payung. Kakiku melangkah pada jalan-jalan yang penuh genangan air yang membuat sepatuku basah seluruhnya. Tiba di gerbang kampus, aku memesan ojek online menuju rumah kontrakan yang tak jauh dari kampus, setelah sesaat menunggu, bapak ojek menghampiriku, memberikan jas hujan dan helm yang akan kukenakan. “Saya duduknya miring ya, pak.” “Oh iya teh, mangga.” Aku menaiki motor dengan posisi duduk miring. Air hujan langit Dramaga membasahi wajahku, mengguyur tubuhku yang dibalut jas hujan plastik seadanya, bajuku tetap basah.

Sepanjang perjalanan, aku tersenyum. Kumainkan jari jemariku yang dibasahi air hujan di udara. Kuayunkan kakiku yang terkena percik-percik genangan di jalan, “Eh maaf pak.” Aku tertawa kecil, rupanya ayunan kakiku mampu membuat motor ojek ini bergoyang tidak stabil. Bapak ojek tertawa seadanya, maklum, mungkin pikirnya mahasiswa ini tak pernah merasakan indahnya hujan. Menyenangkan sekali. Hujan memang selalu membahagiakan.

Tiba di rumah, aku segera turun dan membayar bapak ojek tadi, “makasih banyak ya, pak.(udah ajak saya main hujan-hujanan)” Tapi tentu saja kalimat dalam kurung itu tak kulontarkan. Aku tak segera masuk rumah setelah bapak itu pergi. Aku hanya berdiam di teras rumah dengan canopy yang melindungiku, tentu saja aku tak ingin disangka gadis yang sedang frustasi dengan menyembunyikan tangisnya di tengah hujan. Kali ini aku menikmati hujan tanpa menyentuhnya. Tetap menyenangkan, tetap membahagiakan. Bahkan lebih aman, kemungkinanku untuk masuk angin lebih sedikit, kan?

Lalu metafora-ala-pikirku kambuh lagi, tiba-tiba terbersit sekelompok kalimat yang kira-kira bunyinya seperti ini;

Belajar dari hujan,
Ia tak pernah tahu dimana ia akan jatuh,
apa yang akan ia hadapi.
Tapi ia tetap hadir ke bumi,
tetap mengalir,
tetap menjalankan tugasnya.

Kamu cuma butuh ikhlas. Nah, itu dia poin sulitnya. Kecuali kalau 'ikhlas' dan 'cuma' berkawan baik, yaa semoga saja.


“SAAAAL.” Ah, pasti sebentar lagi kata ‘masuk angin’ akan terlontar(lagi). “NGAPAIN SENDIRIAN DILUARR? MASUKK NANTI MASUK ANGINN.” Nahh, tepat sekali. “IYAA.” Aku segera berpamitan pada hujan, lantas masuk rumah meng-iyakan teman satu kontrakanku yang sedari tadi berada di rumah.
‘nanti kita main lagi, ya.’

Komentar

Postingan Populer