Jauh di mata Dekat di doa

Begitulah aku menyebutnya untuk kami, kakak beradik yang sedang ldr-an, jauh di mata namun dekat di doa.

Kami terbiasa bersama, kami lahir di rumah sakit yang sama, belajar di tk yang sama, sekolah kami juga selalu sama.
Aku masih ingat ketika kedua kakakku sudah sd dan aku masih tk, mereka selalu berangkat bersama naik sepeda sedangkan aku tinggal di rumah. Kalau sepeda mereka sudah keluar rumah pasti aku dengan sigap berlari keluar dan mendekati pagar untuk melepas kepergian mereka ke sekolah. sebelum mereka benarbenar pergi biasanya kami melakukan tos andalan, dan itu dilakukan setiap hari. Setelah mereka pulang, pasti kami akan bermain bersama, semua benda di rumah bisa disulap jadi mainan oleh kami brertiga.

Hari terus berlalu dan kini aku sudah menginjak sekolah dasar, tentu saja di sekolah yang sama dengan kedua kakakku. Karna kami terbiasa bersama.
kini aku sudah tak perlu lagi buruburu lari ke luar rumah dan mendekati pagar hanya untuk tos andalan, karena mulai saat itu, aku ikut pergi sekolah bersama mereka berdua. Mba Nia, kakak pertamaku bertugas menggoncengku dengan sepeda ungunya. setiap hari.

Kami menikmati masa masa sd bersama, tapi baru satu tahun berlalu, Mba Nia harus diwisuda dan meninggalkan kami. Itu menyedihkan, terlebih ketika umi bilang kakak pertamaku itu akan sekolah di pesantren, bukan di rumah. Anak kecil mana yang mengerti kehidupan pesantren? Yang aku tahu, kalau kakakku sekolah di pesantren berarti aku tak akan bisa bertemu dengannya kecuali kalau ia sudah lulus dan itu bukan waktu yang sebentar, maka dari itu aku benar-benar menolak, bahkan sampai menangis, tapi setelah umi menjelaskan kalau kita bisa menjenguk Mba Nia kapanpun, aku mulai menerima dan akhirnya ia benar-benar diantar ke Bogor.

Hari-hari berlalu tanpa kakak pertamaku di rumah, tak ada lagi yang menggoncengku untuk berangkat ke sekolah, tak ada lagi yang melerai ketika aku dan Mas Ihsan bertengkar, tak ada lagi yang membelaku jika Mas Ihsan membuat adik satusatunya ini menangis.

Tiga tahun berlalu, giliran mas Ihsan yang sekolah di pesantren, menyusul Mba Nia. Tentu aku kembali sedih, kini aku benar-benar jadi anak tunggal di rumah. Tak ada lagi tos andalan, tak ada lagi bermain bersama, tak ada lagi yang menjahiliku sampai aku menangis.
ketika aku pulang sekolah, aku hanya memijit umi atau abi yang kelelahan sambil bercerita apa yang terjadi sepanjang hari ini. Itu menyenangkan, tapi jauh lebih menyenangkan bermain bersama kedua kakakku bukan?

Tahun ke tahun berlalu, kini aku sudah mulai remaja dan mnyusul kedua kakakku di pesantren, senang sekali rasanya bisa berkumpul bersaama seperti kecil dulu, tapi tentu saja aku sangat sedih meninggalkan umi, abi, dan rumah. Kini rumah benar-benar sepi, aku tahu berat bagi umi dan abi untuk melepas kami, tapi bukankah orangtua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya?

Hari-hari disini terasa begitu menyenangkan, beberapa mingu sekali kami bertiga akan bertemu dan sharing satu sama lain, itu sangat menyenangkan. Hingga akhirnya Mba Nia lulus dan kembali meninggalkan kami. Ia melanjutkan studinya ke Lampung, bersungguh sungguh menggapai cita-citanya yang mulia, menjadi dokter sukses yang sholehah. Aku kembali bersedih.

Tinggal aku dan mas Ihsan yang sekolah di pesantren, kami akhirnya berjanji akan bertemu setiap minggu jika umi dan abi tidak bisa menjenguk. Dan itu real, kami selalu bertemu setiap hari minggu untuk sekedar sharing dan curhat. Hari minggu menjadi saat paling menyenangkan, hari minggu adalah hari yang selalu kutunggu-tunggu.

Waktu memang tak kenal perasaan, ia terus berjalan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi. Setelah beberapa tahun akhirnya mas Ihsan lulus dan meninggalkanku sendirian, ia melanjutkan studinya di Solo, bersungguh-sungguh untuk menggapai cita-citanya yang mulia, menjadi seorang engineer sukses yang sholeh. Aku benar-benar sedih, tak ada lagi minggu minggu yang menyenangkan, tak ada lagi yang menjadi pendengar sejati mingguan, tak ada lagi minggu minggu yang kutunggu, kecuali bila umi dan abi menjenguk, itu sangat menyenangkan.

Kini kami benar-benar terpisah. Umi dan abi di Bekasi, aku di Bogor, Mas Ihsan di Solo, dan Mba Nia di Lampung, jarak memang memisahkan kami, tapi doa selalu mendekatkan.

Kini yang kudambakan bukan hanya mas Ihsan dn Mba Nia yang baru pulang sekolah, bukan saat saat menjenguk Mba Nia tiap bulan, bukan juga minggu minggu pagi yang menyenangkan.
yang kudambakan kini adalah saat saat libur panjang seperti idhul fitri, dimana kami berlima bisa berkumpul bersama dalam kebahagiaan.

Kami memang jauh di mata, tapi doa selalu mendekatkan kami.

Komentar

Postingan Populer